Hari
ini saya mendapat mata kuliah tentang pendidikan inklusif, bagi saya pribadi
sebagai salah satu mahasiswa Pendidikan MIPA yang merupakan pelajaran eksak,
mata kuliah ini adalah mata kuliah refreshing, hehe. Kapan lagi saya bisa menguplek – uplek *mengotak – atik teori
lain selain tentang kimia? Cukup jenuh juga bagi saya untuk terus – terusan
belajar dan bermain (baca : praktek / riset) tentang kimia. Saya perlu hal lain
untuk menyeimbangkan otak saya, jadi tidak hanya otak kiri yang bekerja.
Nah,
pendidikan Inklusif (di kartu mahasiswa tertulisnya pendidikan Inklusi) ini
bisa berfungsi ganda bagi saya, di satu sebagai bekal saya untuk menjadi guru
nantinya di sisi lain sebagai penyegar sejenak bagi otak saya.
Saya
cukup tertarik dengan Pendidikan Inklusif. Oleh karena itu saya akan share
sedikit apa yang saya dapat di perkuliahan saya hari ini.
Apa
itu pendidikan inklusif ? Pendidikan yang tidak eksklusif (jelaslah !).
Pendidikan Inklusif awalnya adalah gerakan, namanya Gerakan Equaly, siapa pencetusnya saya kurang tahu, tetapi saya
sependapat dengan gerakan ini. Gerakan ini menitik beratkan pada pendidikan
yang sama (equal) untuk semua orang, semua
kalangan tanpa terkecuali dan tanpa batas, non – diskriminatif, menjunjung
tinggi keberagaman dan perbedaan serta pendidikan yang ramah (mungkin artinya
tidak membedakan dan memperlakukan setiap orang sama).
Kalau
berbincang masalah keberagaman, dunia ini penuh dengan keberagaman dan
perbedaan, jangankan dunia, Indonesia saja lah. Seperti yang kita tahu negeri
ini kaya akan suku, bangsa dan bahasa, itu salah satu contoh keberagaman.
Contoh lain ada pribadi yang “lengkap”, dalam artian memiliki dua mata, satu
hidung, dua telinga, satu mulut, dua tangan, dua kaki dan anggota – anggota tubuh
lain yang berfungsi dengan baik. Tetapi ada juga pribadi yang berbeda dengan
kita (manusia mayoritas), yaitu tuna rungu, tuna wicara, tidak punya kaki,
lumpuh (difable), dll. Yang saya tekankan disini, mereka tidak cacat ! Mereka
hanya berbeda, ya hanya berbeda dengan orang kebanyakan. Mengutip ucapan dosen
saya hari ini.
“Coba bayangkan kalau di dunia ini semua orang berkaki satu, berarti kalau kita mempunyai dua kaki, kita dianggap cacat. Padahal sesungguhnya kita tidak cacat, hanya berbeda”
Paham
ini seharusnya disebarluaskan kepada orang – orang, bukan untuk membentuk paham
baru, tetapi untuk mengubah pola pikir masyarakat kita terhadap orang yang
berbeda. Untuk itulah saya menulis postingan ini.
“Dunia ini memegang kebenaran mayoritas, kaum minoritas sering disingkirkan atau malah diperolok dan kebenaran yang seperi ini bukanlah suatu kebenaran.”
Yang
saya utarakan baru sebagian kecil dari keberagaman, masih banyak keberagaman
lain yang terbentuk di era modern ini.
Tentu,
kita tidak dapat menghindari adanya keberagaman ini, dan inilah yang menjadi
dasarnya, bahwa keberagaman itu normal, perbedaan itu wajar dan perbedaan –
perbedaan ini menghasilkan keseimbangan (harmoni) dalam dunia ini. Jadi menurut
saya tidak ada salahnya ketika saya berteman dengan seorang gay, pemabuk, atau
anak autis. Saya pikir mereka juga sama dengan kita. Dan tidak ada salahnya
juga anak seorang pekerja seks itu bersekolah, bahkan pengemis, anak yang tidak
punya ayah, atau tanpa akte kelahiran, mereka juga berhak bersekolah bukan?
Saya
pernah punya satu cerita tentang seorang anak autis, sebut saja namanya Alfa.
Saya tidak mengenalnya, bahkan belum pernah bertatap muka dengannya. Tapi saya
selalu mendengar cerita tentangnya melalui kerabat saya. Kebetulan kerabat saya
seorang yang merawat dia, menemaninya bersekolah. Alfa terlahir di keluarga
yang mapan, bahkan berkelimpahan. Tetapi karena dia autis, tidak banyak sekolah
yang menerimanya. Ada suatu yayasan yang menerimanya untuk bersekolah bersama
dengan anak – anak lain yang dianggap normal, tetapi mereka mengajukan syarat
kepada orang tuanya untuk memberikan bantuan yang luar biasa banyak bagi
sekolahnya. Oleh karena hal inilah sekolah ini menerimanya, untuk merauk
keuntungan dari seorang Alfa. Beberapa lama sekolah ini kemudian memutuskan
untuk mengeluarkan Alfa dari sekolah, tidak tahu karena apa. Kemudian orang
tuanya mencarika sekolah lain untuk Alfa, dan akhirnya mereka menemukan SD
negeri yang mau menerimanya. Tetapi ini tidak bertahan lama. Selang beberapa
bulan, Alfa dikeluarkan. Jadi, sekolah ini pun gagal menerapkan pendidikan
inklusif. Akhirnya, Alfa di sekolahkan di Sekolah Khusus (SLB).
Ya,
pendidikan inklusif mungkin belum diterapkan di Indonesia. Dan mungkin untuk
saat ini belum bisa diterapkan, saya juga menyadari hal itu. Tetapi kuliah ini
cukup merubah pemikiran saya tentang mereka, saya menganggap diri saya normal
dan mungkin juga secara tidak langsung menganggap mereka jijik dan kotor.
Tetapi sesungguhnya, mereka hanya diciptakan Tuhan berbeda dan itulah yang membuat
harmoni J
Jadi
kalaupun saya menghadapi anak – anak yang diciptakan berbeda atau yang punya
keadaan berbeda, saya bisa memakai pemikiran ini sebagai dasar berpijak.
0 komentar:
Posting Komentar